Kalian pernah ga si berada di posisi yang bener-bener capek
dan nyerah sama kenyataan yang kalian hadapi? Sebagai seorang pelajar SMA yang
bersekolah secara online karena pandemi, satu tahun belakangan ini cuma itu
yang gue rasain.
Sekolah yang ga memenuhi ekspektasi gue, dapet temen sekelas
yang bahkan becandaan onlinenya aja ga cocok dan justru bikin ilfeel,
lingkungan dan pemikiran yang berbeda dari sekolah gue sebelumnya, ditambah
segala sesuatunya tuh seperti ga diperhitungkan (?) kesannya jadi ga realistis
dan ga terorganisir.
Jujur, seringkali gue menganggap bahwa gue salah memilih
sekolah. Tapi kalau diingat, dulu gue selalu memohon, menangis di atas sajadah
sambil menengadahkan kedua tangan gue, meminta berkali-kali dan
bersungguh-sungguh supaya keinginan gue ini dikabulkan dan dipermudah jalannya.
Sebetulnya gue juga malu, gue seperti seorang hamba yang ga bersyukur, padahal
dulu gue yang meminta, tapi pada akhirnya gue sendiri yang muak dan kecewa.
Keadaan gue kemudian mulai semakin parah saat semester 2
dimulai. Ada banyak kekecewaan dan hal-hal yang membuat gue enggan berada di
lingkungan ini. Gue mulai ketakutan, tentang pertemanan, tentang masa depan,
tentang guru-guru, tentang pemikiran dan kebiasaan. Ga usah jauh-jauh, bahkan gue
takut akan hari esok. Semenjak di rumah aja, gue juga lebih sensitif dan
gampang emosi, sikap gue ke keluarga juga makin dingin dan gue selalu
menghindar untuk berbincang, gue juga gatau kenapa.
Di semester 2 itu, gue merasakan ketakutan yang berlebih
setiap harinya, hal yang belum pernah gue rasakan sebelumnya. Gue takut bahwa
gue akan menghadapi kenyataan di hari esok, yang bahkan gue ga tau kenyataan apa
yang akan gue hadapi. Di waktu yang bersamaan, gue juga selalu lelah, lesu, dan
muak. Dampaknya gue jadi males ngerjain tugas (walau gue selalu ngumpulin
sebelum deadline sih), stress, gampang capek dan nilai gue jadi ga terkontrol,
alias banyak yang turun.
Sebetulnya bukan cuma itu, ada alasan lain kenapa gue muak
dengan keseharian gue ini. Setiap hari, setiap mapel dan setiap guru, mereka
selalu menuntut kami (para siswa) untuk menjadi sempurna. Ga boleh terlambat,
ga boleh dapet nilai jelek, harus bisa di semua mapel, dan yang lebih ga masuk
akal adalah mereka suka memukul rata sesuatu, selalu menganggap kendala yang
kami hadapi (jaringan maupun teknis) adalah suatu kebohongan. Hal ini yang
kemudian memengaruhi pola pikir gue, membuat gue lupa bahwa gue hanya seorang
manusia, yang jauh dari kata sempurna.
Hari-hari itu gue lalui dengan susah payah, gue cuma bisa
menahan semua kekesalan dan sakit hati sendiri, banyak pikiran, dan selalu
nangis di setiap malam. Untuk kesekian lamanya, gue merasakan hal ini lagi,
rasa dimana gue harus dihadapkan dengan berbagai rasa negatif, ketakutan,
kekecewaan, sakit hati dan muak.
Di semester baru ini, gue pun masih merasakan hal yang sama.
Kebijakan sekolah yang ga realistis dan ga efektif adalah hal baru yang gue
hadapi saat ini. Gue bukan tipe yang terbuka sama orang, bahkan sama keluarga
gue sendiri. Tapi kalo rasanya udah terlalu berat, sesak dan gue perlu
didengar, gue akan bilang ke emak gue sambil nangis. Walaupun kata-kata dia
bakal sama aja, yaitu “Jangan nangis. Jangan kabur atau lari, apapun keadaannya
hadapi aja, ga usah takut”. Cukup sederhana dan pasaran sih, tapi entah kenapa
selalu ada rasa lega, dan gue selalu dapet pencerahan dari kata-kata yang ga
pernah berubah itu.
Setelah gue pikir-pikir lagi, gue memutuskan untuk berserah,
dan berdamai dengan kenyataan bahwa gue adalah seorang manusia yang ga luput
dari kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Selain itu, kenyataan bahwa gue
adalah seorang hamba pun juga harus gue pegang teguh. Gue memutuskan untuk
menyerahkan semuanya kepada pemilik segala-Nya. Menyerahkan hari esok yang akan
gue hadapi, termasuk dengan menyerahkan masa depan gue.
Karena gue adalah seorang manusia, wajar kalau gue melakukan
kesalahan, lumrah kalau gue jauh dari sempurna. Dan karena gue seorang manusia,
sekuat apapun usaha gue, sekeras apapun doa gue, dan sesering apapun gue
meminta, gue tetap akan bertemu dan bersatu dengan takdir di persimpangan jalan
nanti. Takdir itu yang nantinya akan mengantarkan gue kepada sesuatu, yang ga
terduga dan luar biasa, sesuatu yang gue tahu sudah Tuhan takdirkan untuk gue.
Gue memilih untuk menjalani ini semua sambil berserah kepada
Allah. Mau laptop gue mati ditengah zoom, mau jaringan gue ga stabil, mau guru
salah paham ke gue, gue memutuskan untuk berserah kepada Allah, dan terbukti
hal itu berdampak besar terhadap diri gue. Gue jauh lebih tenang dan ga banyak
mengeluh seperti dulu. Karena gue manusia, gue jadi tahu bahwa ada hal-hal yang memang ga bisa gue handle, dan hanya perlu gue serahkan kepada pemilik segala-Nya.

Comments
Post a Comment